Agenda 

Kesetiaan pada Tradisi dan Kearifan Lokal

Apa yang terlintas di pikiran kita ketika mendengar kata modernisasi. Secara sederhana mungkin kita akan membayangkan sebuah arus besar yang menyeret kita pada suatu perubahan pemikiran, gaya hidup, atau bahkan suatu kondisi masyarakat yang sedang bergerak pada budaya hedonis dan seragam secara sadar atau tak sadar. Kita berada pada suatu telikungan atau kungkungan di mana mesin, tehnologi, dan pembaharuan sedang berusaha mengubah aspek-aspek kehidupan sebuah masyarakat atau bangsa.

Semua perubahan tentu memiliki nilai positif dan negatif. Satu karakteristik negatif arus modernisasi bisa jadi adalah hilangnya jati diri atau identitas. Itu bisa jadi adalah adanya satu kebiasaan dan tradisi yang kemudian ditinggalkan. Kita kemudian menerima dan memuja pergeseran budaya tersebut sebagai sebuah kebutuhan atau bahkan keharusan atau bisa jadi hanya sekadar mengikuti arus tanpa kita menyadarinya. Perlahan lalu kita kehilangan sebuah nilai yang sesungguhnya telah melekat pada diri dan masyarakat kita.

Sesungguhnya perubahan juga mengandung sisi positif, tetapi tersering perubahan itu juga sesuatu yang terstruktur yang membawa ideologi tertentu yang ingin menggerus tradisi demi kepentingan yang bersifat materialistis, hedonis, dan konsumtif. Di sinilah saat kita menyadari bahwa ada nilai yang akan diberangus, kita harus mampu menjaga dengan kesadaran bahwa tradisi dan nilai yang berpijak pada kearifan lokal harus kita pertahankan.

 

Perempuan dan Tradisi di Lereng Meratus

 

Puisi “Perempuan di Lereng Meratus” karya Rini Intama bisa menjadi sebuah ilustrasi emosi dan ideologis yang mengusung kesadaran tinggi agar manusia tetap menjaga nilai-nilai leluhur dan tradisi. Banyak hal yang bisa menjadi suatu kontemplasi yang membangkitkan sisi kognisi kita bahwa sering sekali kita menganggap persoalan alam, tradisi, adat dan budaya sebuah masyarakat adalah sesuatu yan bersifat primitif karena tak mengikuti sebuah perubahan.

Kita bisa membaca sekilas seperti yang nampak pada “Perempuan di Lereng Meratus” tersebut. Mungkin sebagian besar kita akan melihat bahwa perempuan tersebut asyik dalam dunianya sendiri hingga ia tak melihat bahwa di luar sana ada sebuah arus besar yang lebih mengasyikkan dan penuh kejutan. Betapa sederhananya perempuan tersebut, sesederhana kita memahami diksi yang cukup lugas dalam puisi tersebut. Tetapi jika kita mampu masuk ke dalam jantung pusi tersebut, kita melihat perempuan tersebut justru memiliki kesadaran dan satu usaha yang luar biasa tinggi yang mampu menampilkan sisi lain emosi, pemikiran, dan dedikasinya pada masyarakat, sebuah masyarakat yang juga tengah terlena akan sebuah gelombang modernisasi.

Ia sepenuhnya sadar dan paham meski mungkin tak sepenuhnya mengerti istilah-istilah eksploitasi, perkembangan tehnologi, atau apa yang disebut laju budaya dan pemikiran yang sedang terjadi, atau bahkan hingar bingar suatu masyarakat urban yang sedang sibuk menikmati kehidupan yang menawarkan banyak kesenangan- tapi sesungguhnya ia tetap memiliki kesadaran ideologis yang tinggi. Kesadaran ideologis itu nampak jelas ketika ia mencoba mempertahankan lingkungan, masyarakat, dan nilai-nilai yang dianutnya. Tentu ada persoalan yang terjadi di luar sana hingga ia harus mengambil sikap untuk dengan keras menjaga kesetiaannya pada bumi yang ia huni.

 

Di lereng Meratus

Perempuan Menampi

Kesetiaannya pada bumi

 

Puisi ini tentu tak bermaksud sepenuhnya untuk mengangkat persoalan gender, walau bisa saja kita membacanya dalam perspektif feminis, tapi tentu saja bukan itu yang dimaksudkan tapi lebih sebagai penghormatan pada perempuan.

“Menampi” adalah pekerjaan yang dilakukan secara berulang dan bertujuan untuk menjaga dan memilih suatu hal yang baik dan membuang sesuatu yang buruk dan memang layak dibuang. Begitulah ritme kehidupan kita yang akan selalu berulang menghadapi persoalan, ada hal yang harus ditampi. Perempuan tersebut menampi kesetiannya pada bumi. Sungguh dengan pembuka yang tenang dan khusu’ kita bisa merasakan bahwa ada hal yang benar-benar perempuan itu sadari dan tampi, kesetiaan pada bumi. Bagaimana kemudian perempuan itu menampi kesetiaannya dan pada bumi yang mana sesungguhnya telah begitu jelas digambarkan tetap dengan nada yang penuh khidmat. Nada ini akan meresap di dada kita dengan penuh kedamaian dan ketenangan meski ada gejolak di situ.

 

Mengikuti arah angin yang

membawanya pada doa sunyi

 

Agar tak tersesat terkadang kita harus “mengikuti arah angin”, tapi arah anginpun terkadang cepat berubah dan mampu membawa manusia pada suatu kondisi yang penuh kebingungan. Kita sebenarnya bisa memaknai arah angin dengan suatu trend atau kecenderungan yang sedang terjadi dan mempengaruhi masyarakat. Ada kompleksitas atau bahkan sebaliknya, sebuah kehidupan manusia yang senang melakukan imitasi atau peniruan. Jika toh kemudian sang perempuan telah begitu paham akan arah angin, maka agar lebih bermakna ia mengikuti arah angin yang membawanya pada doa sunyi. Suatu harmonisasi alam dan batin telah begitu terasa pada baris-baris ini. Harmonisasi tersebut makin begitu kuat ketika membaca baris selanjutnya:

 

Mantra dan aroma dupa,

merambati hutan dan pegunungan

 

Dua baris tersebut makin menunjukkan bagaimana suasana alam dan batin manusia mencoba saling mengisi dan menguatkan. Semua berjalan tidak begitu saja, tapi dengan usaha dan proses. Bagaimana seorang perempuan “menampi”, lalu ia mengikuti arah angin dan seterusnya hingga “merambati hutan dan pegunungan.” Diksi “merambati” tentu saja tak muncul begitu saja, tapi benar-benar sebagai suatu proses dari upaya yang telah dilakukan sang perempuan pada baris sebelumnya dan secara implisit menunjukkan bahwa ada yang lain yang terlibat di sana, yaitu para lelaki dengan mantra dan aroma dupanya.

 

Di lereng Meratus

Perempuan bermata api memuja

kesetiannya pada tanah kelahiran

 

Ada hentakan dan emosi yang mulai bangkit di sini namun tetap terkontrol dan terarah. Kita bisa menggeser makna “bermata api” sebagai suatu semangat yang tetap menyala untuk memuja. Semua berjalan terarah karena yang ia puja adalah “kesetiaanya pada tanah kelahiran.” Ini menunjukkan bahwa sesungguhnya perempuan itu paham betul bahwa sepasang matanya harus tetap melihat dan menyala.

 

Bersama air, tanah, angin, kayu

dan batu yang akan membawa berkah

 

Baris tersebut adalah pelibatan bahkan penyatuan unsur-unsur alam dengan manusia. Kita sering sekali mendegradasi makna air, tanah, angin, kayu dan batu sebagai sesuatu hal yang sepele dalam fungsi. Unsur-unsur alam tersebut betapa mudah kita abaikan. Perempuan tersebut menjadikan semua unsur itu dengan sesuatu yang begitu batiniah dan religius bahwa semua akan membawa berkah. Sebuah ungkapan rasa sadar dan syukur yang begitu dalam.

 

Sejak gunung panjang yang

membentang dari barat ke timur

menyimpan rumah cinta dan

huma yang dijaganya dalam doa

 

Baris-baris ini adalah sorot mundur yang menjaga ingatan sang perempuan. Semua unsur alam tersebut sesungguhnya telah tersimpan dalam gunung panjang yang membentang sejak dulu, sejak itu pula gunung itu menyimpan rumah cinta dan huma yang dijaga dalam doa. Ada ingatan dan sejarah panjang yang telah berjalan dari generasi ke generasi. Sejarah itu mengisahkan kehidupan lereng Meratus yang masih tetap dijaga dengan keyakinan tinggi. Kita bisa melihat hal tersebut dari kata “doa” yang tetap dijaga. Doa adalah keyakinan dan kedekatan manusia dengan pencipta.

 

Di lereng Meratus

Perempuan menjemur padi dan

biji kemiri agar terbakar matahari

 

Perempuan Meratus tentu tak hanya sekadar paham bagaimana mengondisikan batin mereka pada alam dan Tuhan tapi mereka juga paham bahwa hidup juga penuh dengan tantangan. Hidup juga harus bekerja bukan sekadar pasrah. Perempuan Meratus hidup dengan mengolah alam dan bercocok tanam dengan menjemur padi dan biji kemiri.

Alam sesungguhnya telah menyediakan banyak hal. Semua manusia tentu saja memiliki ketergantungan hidup pada alam. Hanya terkadang sikap tak terkontrol manusia justru bisa merusak dan menghancurkan alam. Sebagian lagi justru melakukan eksploitasi pada alam untuk kepentingan diri sendiri lalu merugikan banyak orang lain. Kita bisa menyaksikan itu pada ekploitasi tambang-tambang seperti batu bara, emas, minyak, dll. Sekelompok orang menjadi kaya dan sekelilingnya tetap miskin lalu yang terjadi adalah kesenjangan dan ketimpangan pada kehidupan kemanusiaan.

 

Memuja ruh ruh leluhur yang

membuka huma dari kahyangan

menjaga akar akar pohon agar

tak mati dan mengering

Karena di sanalah bakal manusia

tumbuh sempurna

 

(Tangerang, 21 Februari 2017)

 

Beberapa baris terakhir tersebut mengingatkan kita bahwa hidup dan menjaga kehidupan dan alam adalah dengan tetap mengingat sang pencipta dan menjaga alam. Eksploitasi alam atau membuka huma dari kahyangan tak bisa dengan mengabaikan pelestarian agar tak mati dan mengering. Pelestarian alam, penjagaan pada nilai tradisi, kesetiaan pada kearifan lokal sesungguhnya akan menjaga kehidupan ini tumbuh sempurna.

Sungguh kita menyaksikan pada puisi ini bagaimana perempuan memainkan peran individual sekaligus sosio-kulturalnya. Peran tersebut dijalankan dengan penuh kesadaran melalui pembelajaran terhadap lingkungan, alam, kehidupan, nilai-nilai, dan juga pada keyakinan yang bersumber pada leluhur dan sang pencipta. Peran yang dijalankan melalui usaha dan proses panjang.

Peran individual itu sangat jelas terlihat bagaimana perempuan di sana tetap menjaga nilai-nilai kehidupan, sadar sepenuhnyan akan jati dirinya sebagai mahkluk personal yang tak melupakan sang pencipta. Tak juga lupa melakukan peran anak atau istri dengan tetap bekerja sehari-hari dengan menjemur padi dan kemiri sebagai sumber penghidupan.

Peran sosio-kultural bisa digali dari cara perempuan di lereng Meratus tetap memuja kesetiaanya pada tanah kelahiran dan menjaga akar-akar pohon. Tanah kelahiran adalah tempat di mana sebuah masyarakat atau komunitas tinggal dan hidup di mana interaksi sosial terjadi. Suatu komunitas akan mengalami benturan baik secara internal dan eksternal. Pada saat itulah kesetiaan manusia diuji, jika peran sosial tak berjalan dengan baik maka yang terjadi adalah pergeseran. Akar-akar pohon adalah sumber di mana nilai-nilai dalam masyarakat tumbuh dan berkembang yang bisa dimaknai lahirnya generasi-generasi berikutnya. Kenyataan bahwa generasi baru terkadang tumbuh dengan pandangan hidup atau ideologi yang berbeda adalah hal yang sangat mungkin terjadi. “Perempuan di lereng Meratus” tentu juga mengalami hal yang serupa.

 

Mahrus Prihany (penikmat sastra bergiat di KSI)

 

Related posts

Leave a Comment

19 − twelve =